Politik Tanpa Keputusan
Nama : Winda Novitasari
NPM : 19213325
Dosen : Sulastri
Dibalik
sengkarut yang bertele-tele soal kesehatan, efisiensi, dan postur APBN,
terselip sebuah pertanyaan penting. Apakah politik sungguh-sungguh hadir saat
rapat paripurna di parlemen beberapa waktu lalu ? Sungguhkah ada keputusan
politik yang dijatuhkan ? Atau, rapat tersebut justru membuktikan betapa
politik sudah disandera sedemikian rupa oleh ekonomi.
Manajerialisasi Politik
Ekonomi
sejatinya bukan penghuni ruang public. Dia adalah oikos (rumah tangga) dan
nomos (hukum). Ekonomi tak lain adalah aturan main dalam mengelola rumah
tangga. Dia sepenuhnya domestik. Politik jauh lebih mulia karena bertempat di
ruang public yang heterogen, ganjil, dan tak terduga. Politik adalah seni hidup
bersama di ruang public, lengkap dengan segala kompleksitasnya. Keputusan
politik pun jauh lebih rumit dan sublime ketimbang ekonomi. Keputusan politik
tidak semata soal alokasi belanja rumah tangga. Keputusan politik merupakan
artikulasi keadilan dalam situasi yang dilematis, jamak, dan tak tuntas. Apa
boleh dikata, modernitas membuat ekonomi menerobos masuk ke domain politik.
Sebab, akal modernitas bukan akal sehat, melainkan akal alat. Itu berbicara
melulu soal efisiensi dalam menggapai tujuan. Sementara, tujuan sendiri tidak
pernah diuji di ruang public. Percakapan public semata mempersoalkan efisiensi
sarana untuk sebuah tujuan yang didefinisikan secara soliter.
Debat
soal APBN, misalnya. APBN sejatinya adalah sarana untuk menyejahterakan rakyat
berbasis keadilan sosial. Namun, perdebatan tidak pernah menyentuh soal
kesejahteraan, apalagi keadilan. Perdebatan berfokus melulu pada postur
anggaran, besaran subsidi, beban subsidi, kesehatan anggaran, dan Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Semuanya perdebatan tentang alat dan
siasat belaka. Alhasil, politik pun menjadi sangat manajerial. Manajerialisasi
politik adalah fenomena modernitas yang lazim (kalau tidak bisa dibilang)
banal. Kita tidak pernah lagi mendengar pidato politik. Setiap pidato
kenegaraan adalah pidato ekonomi yang disepuh politik di sana-sini. Pidato
seolah-olah politik. Politik sudah direduksi sedemikian rupa menjadi perkara
efisiensi. Perdebatan tentang BBM pun dipaksa berposisi hanya pada dua sudut :
Proefisiensi atau anti-efisiensi. Tidak lebih. Artikulasi keadilan nyaris tidak
terdengar. Kalaupun terdengar, maka artikulasi keadilan hanya kosmetika untuk
menutupi wajah yang sepenuhnya ekonomi. Di tangan ekonomi, politik pun menjadi
sepenuhnya manajerial. Manajerialisasi politik membuat keputusan-keputusan
politik dikendalikan sepenuhnya oleh ekonomi. Ini sungguh menyalahi prinsip
ekonomi positif yang meletakkan ekonomi sebagai penopang keputusan politik,
bukan sebaliknya. Ekonomi semata-mata bertugas memberikan rekomendasi teknis
untuk sebuah tujuan politik tertentu. Artinya, ekonomi tidak sepatutnya masuk
ke dalam perdebatan soal nilai, ideology, atau arah etis kebijakan. Kenyataannya,
ekonomi bukan sekedar mengambil alih lahan politik, bahkan menentukan bulat
lonjong lahan tersebut. Politik pun dibuat gigit jari di kampungnya sendiri.
Keputusan tanpa keputusan
Tidak
ada keputusan politik apa pun di rapat paripurna tentang APBN-P kemarin. Rapat
itu menunjukkan betapa politisi kita bercakap dengan kosakata yang sama,
kosakata ekonomi. Ekonomi adalah soal aturan (nomos) yang bergemin. Aturan mati
ekonomi berbunyi : “Jika subsidi BBM tidak dikurang, maka APBN jebol”. Maka,
mereka yang menolak pengurangan subsidi BBM berarti setuju APBN jebol. Padahal,
terlepas dari subsidi yang sebagian besar dinikmati orang kaya, kita masih bisa
berdebat, apakah APBN jebol oleh subsidi atau oleh korupsi. Kita juga bisa
berdebat, apakah layak Negara sekaya Indonesia APBN-nya hanya Rp. 1.600 triliun
? Kita sibuk mempersoalkan pengeluaran, tetapi malas mendongkrak pemasukan.
Namun, apa mau dikata, aturan emas ekonomi mendominasi jalan pikiran politisi
Senayan. Koalisi (yang mulai retak) pun satu suara soal aturan emas tersebut.
Subsidi BBM wajib dikurangi untuk menyelamatkan APBN. Pertanyaannya, apakah
menyelamatkan APBN sekoyong-koyong menyelamatkan rakyat ? Siapa yang
diselamatkan, APBN atau rakyat ? Kita bisa berkeras bahwa APBN yang sehat akan
menyejahtarakan rakyat. Masalah ke mana uang hasil desubsidisasi yang pernah
dilakukan selama ini ? Apakah uang tersebut sungguh dipakai untuk perbaikan
kesejahteraan rakyat ? Atau itu sepenuhnya dipakai untuk kebijakan populis yang
berdampak politik jangka pendek.
Ekonomi
adalah belukar aturan yang keras dan dingin. Di sisi lain, politik adalah soal
kebisa jadian yang plastis. Keduanya ganjil jika dipertemukan. Politik adalah
perkara keputusan sementara ekonomi, keniscayaan. Saya menyebutkan keputusan
ekonomi sebagai keputusan tanpa keputusan. Sebab, ekonomi pada akhirnya selalu
menyerahkan nasib pada aturan yang kaku. Tidak ada ruang sejengkal pun bagi
keputusan manusiawi dengan segenap keganjilannya. Semuanya sudah dipastikan
sejak awal. Tersanderanya politik oleh ekonomi membuktikan bagaimana keputusan
sudah diperkosa oleh keniscayaan. Pemimpin politik sebenarnya diharamkan untuk
ragu. Buat apa ragu jika semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh ekonomi.
Keraguan merupakan sinyal adanya pertimbangan politik yang berkutat dengan
variable majemuk. Lebih gawat lagi jika keraguan itu didorong oleh pertimbangan
imaji public belaka. Apakah keputusan yang bersangkutan akan berpengaruh
terhadap persepsi public terhadapnya ? Bukan keraguan politik yang didorong
oleh sesuatu yang jauh lebih mulia, yakni hajat dan martabat orang banyak. Di
rapat paripurna, ekonomi garis keras dan politik setengah hati bertemu.
Efisiensi APBN berbuah pada gula-gula politik bernama BLSM, dana Lapindo, dan
lain sebagainya. Kesehatan APBN bisa jadi berujung pada kesehatan partai. Tahun
politik membuat setiap kebijakan disusupi dengan kepentingan jangka pendek.
Semakin besar kompensasi akibat desubsidisasi, semakin besar peluang politik di
2014. Sekali lagi, tidak ada keputusan politik apa pun di parlemen soal subsidi
BBM. Parlemen sekedar membonceng keniscayaan ekonomi demi kepentingan electoral
belaka. Politik sungguh dibuat tak berdaya oleh ekonomi. Tidak saja dia dipaksa
memakai baju pinjaman, tetapi politik pun diubah total wataknya dari hajat
dan martabat orang banyak kepada syahwat kekuasaan belaka. Politik ditekuk
sedemikian rupa menjadi seni memutuskan tanpa keputusan. Sungguh celaka.
Sumber :Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar