Nama : Winda Novitasari
NPM : 19213325
Mata Kuliah : Etika Bisnis
Etika bisa
dibagi menjadi berberapa bidang sebagai berikut:
1. Etika
Normatif
Etika normatif
merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan
pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak
secara etis. Dengan kata lain, etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau
keputusan etis. Di samping itu, etika normatif berhubungan dengan
pertimbangan-pertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus
dijalankan agar sautu tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2).
Dalam etika normatif ini muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika deontologis, etika kebajikan dan lain-lain. Suatu teori etika dipahami bahwa hal tersebut mengajukan suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus bertindak dalam situasi-situasi etis (Williams, 2006, 72). Dalam pengajukan kriteria norma tersebut, teori etika akan memberikan semacam pernyataan yang secara normatif mengandung makna seperti "Fulan seharusnya melakukan X" atau "Fulan seharusnya tidak melakukan X".
Harus dipahami
bahwa setiap teori etika didasarkan pada sebuah kriteria tertentu tentang apa
yang etis untuk dilakukan. Kriteria ini disusun berdasarkan prioritas, di mana
dari kriteria umum bisa diturunkan menjadi prinsip-prinsip etis yang lebih
konkret. Dengan begitu, suatu tindakan dapat disebut etis jika ada
kondisi-kondisi tertentu yang memenuhi prinsip-prinsip etis yang diturunkan
dari kriteria umum dalam sebuh teori etika normatif tersebut.
Misalnya pada
teori etika utilitarian, kriteria umum itu adalah suatu tindakan dianggap benar atau
baik jika menghasilkan utilitas paling besar bagi semua orang yang terpengaruh
oleh tindakan atau keputusan tersebut, termasuk orang yang melakukan tindakan.
Lain halnya dengan teori etika deontologis Kant yang punya kriteria umum
sebagai berikut: "Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui
keinginan Anda sendiri dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang Universal"
(Tännsjö, 2008, 56-58).
2. Etika
Terapan
Etika terapan
merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik kepada
topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang,
hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi
menjadi etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Secara umum ada dua
fitur yang diperlukan supaya sebuah
permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika terapan.
Pertama,
permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada
kelompok-kelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral.
Masalah pembunuhan, misalnya tidak menjadi masalah etika terapan karena semua
orang setuju bahwa praktik tersebut memang dinilai tidak bermoral. Sebaliknya,
isu kontrol senjata akan menjadi masalah etika terapan karena ada kelompok yang
mendukung dan kelompok yang menolak
terhadap isu kontrol senjata.
Kedua, sebuah
permasalahan menjadi permasalahan etika terapan ketika hal itu punya dimensi
dilema etis. Meskipun ada masalah yang kontroversial dan memiliki dampak
penting terhadap masyarakat, hal itu belum tentu menjadi permasalahan etika
terapan. Kebanyakan masalah yang kontroversial di masyarakat adalah masalah
kebijakan sosial. Tujuan dari kebijakan sosial adalah untuk membantu suatu
masyarakat tertentu berjalan secara efisien yang dilegitimasinya disandarkan
pada konvensi tertentu, seperti undang-undang, peraturan-peraturan dan lain-lain (Debashis, 2007, 28-30).
Berbeda dengan permasalahan etis yang lebih
bersifat universal, seperti kewajiban untuk tidak berbohong, dan tidak terbatas
pada suatu masyarakat tertentu saja. Seringkali memang isu-isu kebijakan sosial
tumpang tindih dengan isu-isu moralitas. Namun, dua kelompok isu tersebut bisa
dibedakan dengan mengunakan kedua pendekatan yang dilakukan di atas.
Dengan begitu
bisa dimengerti bahwa istilah etika terapan digunakan untuk menggambarkan upaya
untuk menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apa saja yang benar secara
moral terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Misalnya, bioetika yang berhubungan dengan mengidentifikasi pendekatan yang
benar untuk persoalan-persoalan seperti euthanasia, penggunaan embrio manusia
dalam penelitian dan lain-lain.
3. Etika
Deskriptif
Etika deskriptif merupakan sebuah
studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu atau masyarakat. Dengan
begitu, etika deskriptif bukan sebuah etika yang mempunyai hubungan langsung
dengan filsafat tetapi merupakan sebuah bentuk studi empiris terkait dengan
perilaku-perilaku individual atau kelompok. Tidak heran jika etika deskriptif
juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara apa yang
dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau
masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa
sekarang. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan tentang apa
yang dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis yang digunakan untuk
menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000, 3).
Penyelidikan etka deskriptif juga melibatkan tentang apa yang dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai sesuatu yang ideal. Artinya, kajian ini melihat apa yang bernilai etis dalam diri seseorang atau masyarakat merupakan bagian dari suatu kultur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Akan tetapi, etika deskriptif juga memberikan gambaran tentang mengapa satu prinsip etika bisa ditinggalkan oleh genarasi berikutnya.
Oleh karena itu, etika deskriptif
melibatkan stud-studi empris seperti psikologi, sosiologi dan antropologi untuk
memberikan suatu gambaran utuh. Di sini antropologi dan sosiologi mampu
memberikan segala macam informasi mengenai bagaimana masyarakat di masa lalu
dan sekarang menciptakan standar moral dan bagaimana masyarakat itu ingin orang
bertindak. Sedang, psikologi bisa melakukan sebuah studi tentang bagaimana
seseorang punya kesadaran tentang apa itu baik dan buruk serta bagaimana
seseorang membuat keputusan moral dalam situas nyata dan situasi hipotetis
(Kitchener, 2000, 3).
Akan tetapi, etika deskriptif bisa
digunakan dalam argumentasi filosofis terkait dengan masalah etis tertentu.
Observasi yang dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris dalam etika deskripsi
seringkali menjadi argumen untuk relativisme etis. Beragamnya fenomena dan
perilaku etis di antarbudaya memberikan pemahaman bahwa apa yang baik dan buruk
tidaklah absolut, tetapi relatif. Dalam konteks ini, moralitas dianggap relatif
pada tingkat antarbudaya. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa moralitas merupakan
sebuah konstruksi sosial sehingga sangat tergantung kepada subjek etis dalan
lingkungannya.
Ringkasnya,
etika deskriptif mempertanyakan dua hal
berikut:
- Apa yang seseorang atau masyarakat klaim sebagai "baik"?
- Bagaimana orang bertindak secara nyata ketika berhadapan dengan masalah-masalah etis?
4. Metaetika
Metaetika
berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti atau
makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain,
metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Artinya, pertanyaan yang
diajukan dalam metaetika adalah apa makna jika kita berkata bahwa sesuatu itu
baik?
Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk dari pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan sebagai sesuatu yang bermakna.
Perkembangan
metaetika awalnya merupakan jawaban atas tantangan dari Positivisme Logis yang
berkembang pada abad 20-an (Lee, 1986, 8). Kalangan pendukung Positivisme Logis
berpendapat bahwa jika tidak bisa memberikan bukti yang menunjukkan sebuah
pernyataan itu benar, maka pernyataan itu tidak bermakna. Ketika prinsip dari
Positivisme Logis juga diujikan kepada pernyataan-pernyataan etis, maka
pernyataan-pernyataan itu harus berdasarkan bukti. Ringkasnya, jika tidak ada
bukti, maka tidak ada makna.
Di sini kata
kuncinya adalah apa yang dikenal dengan "naturalistic fallacy", yaitu dianggap akan melakukan
kesalahan jika kita menarik suatu pernyataan tentang apa yang seharusnya dari
pernyataan tentang apa yang ada.
Kesulitan dari bahasa etika adalah penyataan-pernyataannya tidak selalu
berupa fakta. Disinilah peran sentral dari metaetika yang mengembangkan
berbagai cara untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan bahasa etika dengan
intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis punya makna. Dalam pembahasan ini
metaetika biasanya terbagi menjadi dua, yaitu realisme etis dan nonrealisme
etis.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar